Entri Populer

Filsafat Manusia, Sejarah dan Biologi



Perkembangan Akal Budi Manusia
Menurut Comte dalam Zainal Abidin (2014 : 30), tahap perkembangan akal budi manusia terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1.      Tahap Teologis
Tujuan utama dari tahap ini yaitu pencarian sebab dan tujuan akhir dari kehidupan.Tahap ini menerangkan bahwa manusia berusaha menjelaskan segenap fakta/kejadian dalam kaitanya dengan teka teki alam yang dianggapnya berupa misteri. Manusia tidak menghayati dirinya sebagai makhluk luhur dan rasional, yang posisinya di dalam alam berada di atas makhluk-makhluk lain. Sebaliknya, ia menghayati dirinya sebagai bagian dari keseluruhan alam, yang selalu diliputi oleh rahasia yang tak terpecahkan oleh pikiranya yang sederhana. Tahap perkembangan ini bisa dijumpai pada manusia purba. Mereka memahami bahwa alam semesta sebagai keseluruhan integral dan terdiri dari makhluk-makhluk yang mempunyai kedudukan setara dengan mereka. Dan seperti diri mereka sendiri, keseluruhan itu dihayati sebagai sesuatu yang hidup, berjiwa, berkemauan, dan bertindak sendiri. Tahap teologis memiliki bentuk atau cara berfikir, yaitu:
a.       Fetiyisme dan animisme
Cara berfikir ini manusia menghayati alam semesta dalam individualis dan partikularnya. Manusia purba tidak mengenal konsep-konsep abstrak: benda-benda tidak dimengerti dalam bentuk konsep-konsep umum, tetapi sebagai sesuatu yang individual dan singular.
Misalnya pohon beringin di depan Keraton Yogyakarta, tidak dimengerti sebagai bagian dari satu spesies pohon beringin atau pohon pada umumnya, tetapi sebuah pohon beringin yang khas dan sakral, yang lain daripada pohon-pohon lainnya. Benda-benda lainpun, misalnya keris, batu cincin, rumah kuno, kereta kencana, desa dan lain sebagainya memiliki roh dan kepribadian sendiri-sendiri seperti halnya dengan manusia.
b.      Politeisme
Cara berfikir ini sudah pada pencapaian menyatukan dan mengelompokan semua benda dan kejadian ke dalam konsep yang lebih umum. Pengelompokan (klasifikasi) itu berdasarkan pada kesamaan-kesamaan di antara mereka. Misalnya desa dan sawah bukan lagi dihuni oleh roh-roh leluhur, akan tetapi Dewi Sri yang memelihara sawah dan desa tersebut.
c.       Monoteisme
Cara berfikir ini sudah tidak lagi mengakui adanya roh ataupun dewa dari benda-benda dan kejadian-kejadian, tetapi hanya mengakui satu roh saja, yakni Tuhan. Tuhan dipandang sebagai satu-satunya Roh yang menguasai Bumi dan langit. Semua benda dan kejadian-kejadian berasa dan berakhir dari satu kekuatan tunggal yang bersifat rohaniah itu (Tuhan).Cara berfikir ini membawa pengaruh yang besar terhadap kehidupan sosial, budaya dan pemerintahan.
2.      Tahap Metafisis
Tahap ini, manusia mulai mengadakan perombakan atas cara berpikir lama, yang dianggapnya tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia untuk menemukan jawaban yang memuaskan tentang kejadian alam semesta. Manusia pada tahap ini berusaha keras untuk mencari hakikat atau esensi dari segala sesuatu. Mereka tidak puas hanya dengan mencari pengertian-pengertian umum, tanpa dilandasi dengan oleh pemikiran-pemikiran dan argumentasi-argumentasi logis. Manusia mulai mengerti bahwa irrasionalitas harus disingkirkan, sedangkan analisis pikir perlu dikembangkan. Namun tujuan utama dari tahap ini masih sama dengan tahap teologis, yaitu pencarian sebab dan tujuan akhir dari kehidupan.
Tahap ini menggunakan konsep-konsep abstrak seperti kodrat, kehendak Tuhan, roh absolut, tuntutan hati nurani, keharusan mutlak, kewajiban moral, dan lain sebagainya. Konsep-konsep tersebut bukan lagi berasal dari dogma agama, tetapi sudah berdasarkan akal budi manusia. Konsep tersebut hanya berdasarkan pengandaian dan belum disertai dengan penelitian ilmiah yang sungguh-sungguh. Pengetahuan metafisis tidak memberi informasi baru, tetapi hanya berupa nama baru bagi konsep-konsep lama.
3.      Tahap Positif
Tahap positif tidak lagi menjelaskan bahwa kejadian dan gejala terjadi secara ketidaksengajaan, melainkan berdasarkan observasi, eksperimen, dan komparasi yang ketat dan teliti.Tahap ini akal mulai mencoba mengobeservasi gejala dan kejadian secara empiris dan hati-hati menemukan hukum-hukum yang mengatur (sebab-akibat) gejala dan kejadian itu.Hukum-hukum yang ditemukan secara demikian tidak bersifat irrasional atau kabur, melainkan nyata dan jelas karena sumbernya diperoleh langsung dari gejala-gejala dan kejadian-kejadian positif, yang dapat diamati oleh setiap orang. Hukum-hukum ini bersifat pasti dan dapat dipertanggungjawabkan karena semua orang, sejauh mereka mau dan mampu, dapat membuktikanya dengan perangkat metodis yang sama seperti yang dipakai untuk menemukan hukum tersebut.
Kemunculan tahap ini ditandai dengan lahirnya banyak ilmuan yang menemukan berbagai hukum atau konsep. Misalnya dalam bidang biologi, kita mengenal teori Abiogenesis dan Biogenesis. Pada mulanya asal usul kehidupan dimenyatakan bahwa kehidupan berasal dari benda mati, teori inidikemukaan oleh Aristoteles (384-322 SM), misalnya cacing keluar dari tanah, lalat dari daging busuk, dan tikus dari tumpukan jerami dan kain. Teori ini juag diperkuat dengan penemuan organisme hidup di dalam rendaman air jerami yang ditemukan oleh Antonie Van Leeuwenhoek (abad-17).
Namun teori atau hukum ini dibantah oleh Francesco Redi (Daging dalam toples), Lazzaro Spallanzani (labu berisi kaldu yang dipanaskan), dan Louise Pasteur (labu leher angsa) yang menyatakan bahwa asal usul kehidupan berasal dari benda hidup ataudikenal dengan teori Biogenesis. Hal ini membuktikan bahwa semua orang bisa menguji suatu hukum atau teori tertentu dengan menggunakan metode yang sama dengan yang digunakan oleh penemu namun dimodifikasi guna menemukan sebuah temuan baru yang lebih acceptable.
Demikian pula dengan hukum I dan II Mendel yang terlahir berdasarkan metode, obeservasi dan treatmen tertentu. Hukum Mendel saat itu tidak langsung diterima sebagai ilmu atau hukum baru karena pada saat itu tingkat pengetahuan manusia yang belum sampai pada tahap lebih unggul. Sehingga hukum Mendel baru diterima setelah berberapa tahun dan banyak orang yang membuktikan kebenaran hukum tersebut. Sehingga sampai saat ini hukum Mendel masih terus dipakai karena belum ada hukum baru yang lebih acceptable yang mampu mematahkan teori tersebut.
Seperti halnya proses alam yang lazim terjadi, sebelum sampai tahap dewasa, dari masa kanak-kanak, manusia harus mengalami masa transisi pada masa remaja dan pada akhirnya akan mencapai kedewasaan. Proses perkembangan akal budi manusia berkembang sejalan dengan proses perkembangan individual manusia tersebut. Pada kanak-kanak, kita menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika, dan sebagai seorang dewasa kita menjadi ahli ilmu alam.

Asal Usul Manusia Pertama Dalam Perspektif Imtak Dan Iptek
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), membuat kalangan agamawan diselimuti oleh kekhawatiran yang mengkristal karena dinamika ilmu pengetahuan dapat membukan kemungkinan yang luas bagi suatu proses pendangkalan tentang agama. Hal ini akan berimbas pada hilangnya nilai-nilai iman dan takwa sebagai akibat dari kemajuan IPTEK yang tidak didasari pada IMTAK. Idealnya, perkembangan IPTEK harus melekat kuat dengan IMTAK karena baik IPTEK maupun IMTAK sejatinya adalah berasal dari satu sumber dengan pola yang berbeda.
Pada dasarnya, setiap iptek perlu diarahkan untuk semakin menegguhkan nilai imtak. Setiap aspek iptek (cabang dan hasil ilmu) terkait dengan imtak. Salah satu pertanyaan besar yang sudah lama diajukan oleh manusia adalah tentang apa dan siapa manusia itu sendiri. Sebenarnya pertanyaan ini sudah ada jawabanya sesuai dengan sudut pandang masing-masing ahli. Terdapat tiga kecenderungan alternatif jawaban, yaitu jawaban berdasarkan fisik, spiritual dan campuran antara fisik dan spiritual.
Kemudian sampailah pada saat ditemukanya telaah tentang manusia ditinjau dari fisik (materi) yang dikemukakan oleh Charles Robert Darwin yang menyatakan bahwa “kehidupan yang ada pada saat ini berasal dari kehidupan masa silam” (Ramidjo dan Zulhimidati, 1998:2) yang sering disebut dengan teori evolusi.Pendapat ini dapat diperjelas bahwasanya segala makhluk hidup yang ada di bumi ini berasal dari satu, yang kemudian pada perkembanganya menyebabkan perubahan-perubahan bentuk sesuai dengan lingkungan dan keadaan yang ada di sekelilingnya.
Teori ini sangat sering kita jumpai pada mata pelajaran sejarah dan mata kuliah evolusi, dimana di dalamnya terdapat banyak bukti-bukti evolusi yang menyebutkan bahwa nenek moyang manusia adalah kera atau kera diduga sebagai asal muasal manusia. Ilmu pengetahuan ini tentunya akan menjauhkan nilai Imtak jika tidak disertai dengan pemikiran spiritual atau keagamaan. Dimana manusia dan hewan-hewan lain tidak diciptakan secara sengaja oleh Tuhan melainkan hasil dari evolusi akibat lingkungan dan keadaan. Oleh karena itu banyak pemikir handal yang mengkritik dan meragukan teori tersebut. Misalnya Johanes Harzalen (1956: 183) menyataka bahwa:
” Tidak pernah tercantum daam sejarah dan tidak pernah terdengar bahwa bentuk dan sifat-sifat binatang itu, ada yang mendekati manusia. Belum pernah tumbuhan itu terjadi dari hewan dan sebaliknya. Belum pernah terjadi kembang kelapa menjadi jangkrik sekalipun bentuknya sama. Tidak pernah terjadi satu dalam seribu dan tidak dapat dibuktikan manusia itu berasal dari monyet”.
Sedangkan berdasarkan jawaban campuran antara fisik dan spiritual terdapat dalam QS. Al-Mu’minun 23:12-14, yang artinya:
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati air mani (yang tersimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim), kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dua makhluk yang berbentuk lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik.” (Juraid Abdul Latief, 2006: 27).

Teori Darwin (iptek) terbilang sangat kontradiktif dengan ajaran agama (imtak), meskipun sebenarnya Darwin Robert Charles adalah seorang yang sangat mempercayai adanya Tuhan dan beliau sendiri juga meragukan teorinya, akan tetapi bukti evolusi yang beliau temukan tidak sesuai dengan ajaran agama (imtak).Oleh karena itu manusia sedang dihadapkan dengan polemik antara perkembangan iptek dan imtak.
Hubungan Alam, Sejarah Dan Kebudayaan
Hubungan terbentuk tidak selalu menghasilkan interaksi positif, akan tetapi ada juga yang menghasilkan interaksi negatif. Begitu juga hubunga antara alam, sejarah dan kebudayaan. Alam, sejarah, dan kebudayaan memiliki karakter dan perbedaan masing-masing. Ketiganya berdiri dan bereksistensi pada bidang berbeda tetapi memiliki hubungan satu sama lain yang sangat kuat. Oleh karena itu hubungan ini dapat dicirikan dengan tridimensi integral seperti gambar di bawah ini.

Apabila dicermati, ketiga lingkaran tersebut beririsan pada ruang yang disimbolkan dengan AKS yang di mana terdapat unsur bernama manusia. Hal ini berarti sejarah dan kebudayaan dapat dipahami dalam suatu pengertian relevansi dengan menjadikan manusia sebagai simbol yang bermakna menyatukan. Bisa juga dijelaskan bahwa hubungan alam, sejarah dan kebudayaan hanya dapat dipahami secara serempak dengan menjadikan manusia sebagai subyek utama yang menyatukan atau setidaknya mempertemukan bidang-bidang yang berbeda itu.
Alam (bumi) sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari manusia. Manusia merupakan unsur mutlak yang diperlukan untuk melakukan kreativitas yang bertumpu pada alam. Sebenarnya manusiapun juga sadar bahwa keberadaanya sendiri sungguh terkait dan tak mungkin lepas dari faktor alam karena sebenarnya alam merupakan variabel penting yang menentukan keberlangsungan keberadaan manusia dan bahkan makhluk lain. Manusia dalam pandangan sejarah juga memiliki nilai vital. Hanya dengan keterlibatan manusia, sejarah dapat dipahami, bahkan keberadaan sejarah itu sendiri sebagai sebuah proses yang telah ada tidak akan terbentuk tanpa adanya unsur manusia. Kebudayaan sebagai proses kreativitas budi dan daya manusia yang bertujuan melahirkan keharmonisan. Jadi, budidaya atau kebudayaanpun tidak dapat melepaskan diri dari posisi sentral manusia.
Sementara itu, bagaimanakan hubungan antara sejarah dengan kebudayaan (KS)? Sejarah merupakan anak dari kebudayaan, dimana kebudayaan melahirkan sejarah, sejarah yang ada di alam. Sehingga bisa disebutkan bahwa sejarah adalah bagian dari kebudayaan. Layaknya seorang anak, sejarah bertugas memelihara dan merawat kebudayaan agar tetap terjaga keberadaanya. Hubungan lain adalah antara alam dengan sejarah, dimana sejarah diibaratkan penghuni rumah dan alam sebagai rumah. Dapat pula disebutkan bahwa sejarah lahir dan tumbuh di dalam sebuah rumah (alam). Rumah memerlukan penghuni dan penghuni membutuhkan rumah. Hubungan antara alam dengan kebudayaan juga bisa dianalogikan rumah (alam) dan perabotan (kebudayaan). Rumah tanpa perabotan bisa saja berfungsi sebagai tempat tinggal, namun esensi estetika tidak akan terasa hampa dan kurang menarik. Selain itu, perabot (kebudayaan) memerlukan rumah (alam) sebagai wadah atau tempat agar eksistensinya dapat bermakna. Jika tidak ada rumah (alam) maka eksistensi perobot itu bisa berubah atau bahkan bisa hilang sama sekali.
Peranan Manusia Dalam Sejarah
Aristoteles mengidentifikasi sejumlah kelebihan manusia yang tidak dimiliki oleh hewan lain. Kelebihan tersebut antara lain adalah manusia memiliki akal, dapat berbicara (bahasa), berpolitik, berkeluarga, dan bermasyarakat. Peran atau kedudukan manusia dalam sejarah dapat digambarkan sesuai dengan skema seperti di bawah ini:



Menggambarkan peran manusia dalam sejarah jauh lebih tegas dengan menggunakan proses sejarah itu sendiri. Bahwa eksistensi sejarah sangat ditentukan oleh manusia. Karena itulah, maka sejarah dalam dimensi waktu dimungkinkan muncul ketika manusia telah ada dan meninggalkan masa lalu, atau mempunyai hari kemarin. Sejarah ditentukan oleh manusia, tidak ada manusia maka tidak ada sejarah. Peran manusia secara konkret dalam sejarah mencakup: manusia sebagai subyek dalam sejarah sekaligus sebagai obyek dalam sejarah. Sebagai subyek berarti manusia adalah pembuat sejarah (hanya manusia yang membuat sejarah). Oleh karena itu, manusia harus selalu menyejarah atau senantiasa dalam arus dan rotasi sejarah. Manusia yang membuat sejarah, sudah sepantasnya setiap orang menjadi sejarawan, paling tidak menjadi sejarah untuk dirinya sendiri (every man is own historians).
Peran manusia sebagai obyek sejarah berlaku dalam pengkajian sejarah tersebut. artinya, manusia memang objek yang dikaji oleh subyek. Sebagai objek berarti apa yang sudah terjadi, dan dalam konteks ini, subyek berupaya mendeskripsikan objek. Hal ini berarti, objek lain dalam dimensi kelampauan yang kemudian diperlakukan subyek dalam dimensi kontemporer yang tentu tidak secara semena-mena, tetapi dengan kaidah-kaidah historis yang reletif baku.
Contohnya peran manusia dalam sejarah (dalam bidang Biologi), baik manusia sebagai subyek atau sebagai obyek adalah sebagai berikut:
Dalam Biologi kita sangat akrab dengan Hukum I dan II Mendel. Dalam penemuan hukum tersebut, Mendel melakukan berbagai kegiatan dan uji coba pada suatu tanaman. Hukum yang ditemukan oleh Mendel tetap eksis hingga saat ini karena adanya peran manusia sebagai subyek dan obyek dalam sejarah. Sebagai subyek, Mendel sebagai pelaku pencetak atau pembuat sejarah, dan kita sebagai guru/mahasiswa terus menyejarahkan kisah temuan Mendel tersebut. Sedangkan peran manusia sebagai obyek sejarah dapat dilihat dari sudut pandang Mendel sebagai obyek yang terus kita kaji atau terus kita ceritakan setiap kita menjelaskan tentang hukum pewarisan sifat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari sudut pandang objek, manusia adalah menu sejarah. Dan jika ditinjau dari sudut pandang subyek, manusia dapat menjadi pembuat atau penyaji menu tersebut. Istilah lain menyebutkan bahwa manusia memiliki peran ganda terhdap sejarah, dimana kedua peran tersebut sangat vital.


DAFTAR PUSTAKA
Juraid Abdul Latief. 2006. Manusia, Filsafat, dan Sejarah. Jakarta: Bumi Aksara.
Rumidjo dan Zulmilhidiati. 1998. Suplemen Sejarah untuk Peningkatan Imtaq Siswa SLTA. Jakarta: Diknasmen Depdikbud.

Zainal Abidin. 2014. Filsafat Manusia. Bandung: Remaja Rodaskarya.

Related Post

Previous
Next Post »