Entri Populer

KASUS PENGELOLAAN LINGKUNGAN DI INDONESIA “ GUMUK PASIR TINGGAL 190 HEKTARE” dan “GUMUK PASIR DI PARANGKUSUMO TERANCAM HILANG”

Rina Vitdiawati

BAB I
PENDAHULUAN

Kabupaten Bantul merupakan salah satu daerah yang berusaha mengembangkan potensi dalam sektor pariwisata guna meningkatan pendapatan daerah dan masyarakat yang tinggal di Kabupaten tersebut. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan manfaat ekonomi pariwisata ini antara lain adalah bekerjasama dengan masyarakat sekitar  dalam mengembangkan jenis obyek wisata, penataan bangunan, penataan tempat parkir dan juga meningkatkan informasi dan promosi. Potensi yang mendapat perhatian lebih dalam pengembanganya adalah Pantai Parangtritis dan disusul dengan pantai-pantai lain di Bantul seperti Depok, Parangkusumo, Parangwedang dan masih banyak lagi yang lain (Supriyanto, 1999).
Berdasarkan kebijakan tata ruang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Bantul ditetapkan sebagai pendukung dan pemerkuat citra Yogyakarta sebagai Daerah Tujuan Wisata. Selain sektor pariwisata, di daerah pesisir pantai juga banyak pengembangan sektor ekonomi, yaitu tambak udang di sekitar Gumuk Pasir yang menjadi mata pencaharian untuk nelayan. Namun sejalan dengan itu, di Kabupaten Bantul, khususnya daerah pesisir pantai tendapat sebuah kawasan Geoheritage berupa Gumuk Pasir . Dr. C. Prasetyadi M. Sc. dalam krjogja.com mengatakan bahwa Geoheritage adalah suatu singkapan batuan yang memiliki nilai geologi yang penting dan mudah dijangkau. Dikatakan Geoheritage karena bisa mengetahui proses dan sejarah bumi tempat kita hidup. Dari situs ini juga dapat dijadikan sarana pendidikan formal maupun non formal. 
Gumuk Pasir yang ada di Kabupaten Bantul ini merupakan salah satu dari dua Gumuk Pasir yang ada di dunia. Adanya aktivitas manusia dalam berbagai sektor di sekitar Gumuk Pasir akan mengancam keberadaan warisan dunia yang langka ini. Mengingat Gumuk Pasir  adalah sebuah gundukan atau bukit pasir yang terbentuk secara alami oleh angin, sehingga diperlukan pengelolaan yang tepat supaya keajaiban alam ini tetap terjaga. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai kesalahan dan istrument yang telah digunakan dalam pengelolaan kawasan Gumuk Pasir di Kabupaten Bantul yang menyebabkan kasus pengelolaan lingkungan serta bagaimana pengelolaan yang ideal untuk menjaga eksistensi Gumuk Pasir tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN ATAU ANALISIS

A.    Kasus Pengelolaan Lingkungan pada Gumuk Pasir
Berdasarkan berita tersebut, pengelolangan lingkungan terhadap Gumuk Pasir  di Kabupaten Bantul, Pesisir Pantai sekitaran Parangtritis dan Parangkusumo termasuk kasus pengelolaan lingkungan di Indonesia dalam kelemahan sistem perundangan dan hukum lingkungan serta tumpang tindih kebijakan pengelolaan lingkungan dalam otonomi daerah.
1.      Kelemahan Sistem Perundangan dan Hukum Lingkungan
Pada sosialisasi Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bantul Tahun 2010-2030, disebutkan bahwa Kawasan Parangtritis dan Gumuk Pasir ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Lindung dan Budidaya seperti apa yang telah tercantum dalam penetapan Kawasan Strategis Provinsi yang termuat dalam Perda 2 Tahun 2010 Tentang RTRW Provinsi DIY 2009 – 2029 (Heru, 2011). Namun pada prakteknya, peraturan dan ketetapan pemerintah tidak terealisasi seperti apa yang telah tertulis.
Pengelolaan Gumuk Pasir di Parangtritis dan Parangkusumo belum juga terealisasi dengan baik hingga sekarang. Terhitung sejak tahun pembuatan peraturan (2010) hingga sekarang pengelolaan masih belum berada pada titik yang menjanjikan. Padahal peraturan tersebut telah berjalan selama kurang lebih 5 tahun. Sistem perundangan berjalan sangat lambat dan belum terarah. Dalam pembuatan peraturan atau sistem perundangan, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah selalu memiliki celah hukum lingkungan yang dapat menjadikan sistem perundangan bersifat lemah. Pada peraturan tentang RTRW Kabupaten Bantul, khususnya tentang penetapan Gumuk Pasir  sebagai Kawasan Strategis Lindung dan Budidaya juga memiliki celah yang dapat memperlambat proses pelaksanaan pengelolaan lingkungan. Hal ini mengakibatkan keberadaan Gumuk Pasir di kawasan pesisir pantai Bantul terus berkurang meskipun banyak ketetapan perundangan yang mengatur.
Misalnya pada berita “Gumuk Pasir di Parangkusumo Terancam Hilang”, Kepala Geopasial Ari Dartoyo mengungkapkan bahwa Undang-Undang UU No. 27 Tahun 2007 telah menetapkan peraturan Gumuk Pasir sebagai kawasan khusus, akan tetapi belum ada peraturan turunan (baik Perda maupun Perbup) tentang peraturan Undang-Undang tersebut (Erfanto, 2014). Sehingga dalam pelaksanaanya belum jelas dan ketidakjelasan tersebut dapat pula dikategorikan sebagai celah hukum sebagai bukti bahwa sistem perundangan masih sangat lemah dalam mengelola Gumuk Pasir .
Kelemahan sistem perundangan dan hukum lingkungan tentang pengelolaan Gumuk Pasir masih berlanjut hingga tahun ini. Dibuktikan dengan adanya berita tentang “Gumuk Pasir Tinggal 190 Hektare”, dimana luas awal area Gumuk Pasir  adalah 400 hektare. Pengurangan area Gumuk Pasir dari tahun ketahun membuktikan bahwa meskipun sudah terdapat Undang-Undang yang mengatur keberadaan Gumuk Pasir sebagai daerah Lindung, Budidaya dan Khusus, namun dalam pelaksanaanya masih sangat lemah.
Ketidakjelasan hukum juga sangat jelas tergambar dari berita “Gumuk Pasir Tinggal 190 Hektare” yang menyebutkan bahwa zona inti Gumuk Pasir harus steril dari bangunan dan tanaman, namun tidak semua zona harus disterilkan. Kalimat tersebut menjadi tidak jelas dan dapat dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Kemudahan dalam mencari celah hukum juga dapat diperkuat dengan ketidakjelasan dari pemerintah maupun para ahli dalam penetapan zona inti dan zona-zona lain pada Gumuk Pasir, sehingga dalam prakteknya masih bisa digunakan secara leluasa oleh masyarakat dalam meningkatkan sektor perekonomian. Oleh karena itu, sistem perundangan dan hukum lingkungan perlu adanya evaluasi dan pembenahan supaya pengelolaan Gumuk Pasir menjadi lebih efektif.
2.      Tumpang Tindih Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Dalam Otonomi Daerah
Menurut kebijakan tata ruang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, fungsi dan peranan Kabupaten Bantul ditetapkan sebagai pendukung dan memperkuat peranan Yogyakarta sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata. Berkembangnya pariwisata Parangtritis dapat memberikan sumbangan ekonomi terhadap pemerintah daerah dan masyarakat (Supriyanto, 1999). Namun kebijakan ini berlawanan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 04 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul Tahun 2010 - 2030. Dimana pada peraturan daerah disebutkan bahwa Kabupaten Bantul masuk dalam Kawasan Strategis Lingkungan Hidup yang perlu dilindung dan dijaga kelestarianya guna mempertahankan kawasan Geoheritage yang ada di pesisir pantai Kabupaten Bantul. Peraturan ini tertera pada Pasal 65 Ayat 4.

Seperti pada kasus pengelolaan lingkungan yang lain, pengelolaan Gumuk Pasir di pesisir pantai Kabupaten Bantul ini kurang memperhatikan faktor keseimbangan alam yang menyebabkan keberadaan Gumuk Pasir tersebut terancam. Jika ditinjau lebih dalam, peran serta pemerintah dalam pengelolaan dan konservasi lingkungan seharusnya sangat besar, vital dan lebih spesifik. Namun peran serta pemerintah dapat juga menjadi salah satu kasus pengelolaan lingkungan manakala terjadi perbedaan kebijakan diantara pemerintah pusat dan daerah. Ketidaksesuain kebijakan tersebut membuat pelaksanaannya menjadi tumpang tindih. Dalam berita-berita yang terangkat di atas, keseimbangan dan kelestarian alam sedikit dikesampingkan dan pemerintah lebih memilih kemajuan dari sektor ekonomi.
a.       Ego sektoral dan daerah
Terlihat jelas bahwa ego sektor ekonomi dan pariwisata lebih dominan dibandingkan dengan ego keseimbangan lingkungan. Mengingat perkembangan pariwisata di Parangtitis berjalan signifikan semenjak tahun 1990, setelah adanya pembangunan infrastruktur sebagai realisasi dari program nasional Visit Indonesian Year 1991 (Aryan, 2005), tentunya sektor pariwisata dan ekonomi lebih diunggulkan daripada ego keseimbangan lingkungan tentang Kawasan Strategis Lingkungan Hidup Gumuk Pasir yang tercantum dalam peraturan pemerintah daerah tahun 2010.
b.     Tumpang tindih perencanaan antar sektor
Pengembangan sektor ekonomi dan periwisata tentu akan menekan perkembangan Kawasan Strategis Lingkungan Hidup Gumuk Pasir yang harus bersih dari berbagai kegiatan di zona intinya. Pengembangan ekonomi (tambak udang) di daerah pesisir pantai Parangkusumo mengambil area zona inti Gumuk Pasir yang cukup luas. Sedangkan pengembangan sektor pariwisata guna meningkatkan perekonomian masyarakat dan daerah di Parangtritis juga mengikis luas area Gumuk Pasir. Keduanya menjadi penyebab utama penyempitan lahan Gumuk Pasir hingga tinggal 190 dari 400 Hektare. Baik perencanaan sektor ekomoni, pariwisata dan kawasan strategis lingkungan hidup masih saling tumpang tindih sehingga dalam perealisasian kurang jelas pada masing-masing sektor.


c.       Pendanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup
Guna mencegah penyusustan lahan Gumuk Pasir yang terus menerus, pemeritah telah mengambil beberapa langkah, misalnya dengan membuat peraturan daerah dan mengadakan sosialisasi untuk diadakan restorasi. Akan tetapi pengawasan berjalanya peraturan dan pelaksanaan restorasi belum bisa berjalan sebagaiaman mestinya. Hal ini dikarenakan anggaran pendanaan untuk melakukan keduanya cukup besar. Misalnya untuk membayar tenaga pengawas dan untuk merelokasi lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan tambak udang memerlukan dana yang tidak sedikit. Dengan keterbatasan pendanaan tersebut menjadikan upaya restorasi maupun konservasi menjadi berjalan lambat.
d.      Keterbatasan sumber daya manusia
Pengelolaan Gumuk Pasir sebagai salah satu kawasan Geoheritage memerlukan sumber daya manusia yang mumpuni. Baik dalam pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat harusnya sadar akan keberadaan Gumuk Pasir tersebut sehingga dapat bersinergi dalam pengelolaanya. Berdasarkan berita tersebut, jelas bahwa sumber daya manusia belum mencukupi sehingga luas lahan semakin menyempit dan usaha restorasi masih belum berjalan dengan baik.
e.       Eksploitasi sumberdaya alam masih terlalu mengedepankan profil dari sisi ekonomi
Sebagian besar kegiatan di zona lahan Gumuk Pasir masih berorientasi pada sektor ekonomi. Pengadaan tambak udang, pembangunan lahan parkir, motel, losmen, rumah makan, pertokoan, dan berbagai macam bangunan lain bertujuan untuk memajukan sektor ekonomi melalui pengembangan sektor pariwisata. Jika eksploitasi tersebut tidak segera dikendalikan, maka penyempitan lahan Gumuk Pasir akan semakin parah. Pengembangan sektor ekonomi melalui pariwisata ini seharusnya tetap memperhatikan pengelolaan lingkungan hidup agar tetap terjaga.
f.       Lemahnya implementasi peraturan perundangan
Sejak tahun 2007 Parangkusumo sudah ditetapkan sebagai kawasan khusus dan pada tahun  2010 sudah ditetapkan bahwa Gumuk Pasir di pesisir pantai Kabupaten Bantul masuk dalam Kawasan Strategis Lingkungan Hidup, namun dalam implementasinya belum kuat. Selain itu, pemerintah daerah juga sudah menetapkan bahwa Gumuk Pasir sebagai salah satu Geoheritage dari 9 Geoheritage yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Akan tetapi semua pertaturan tersebut belum memiliki peraturan turunan, misalnya kejelasan luas zona ini dan zona-zona lain yang harus steril. Bahkan hingga tahun ini, upaya restorasi Gumuk Pasir masih terkendala dengan peraturan zonasi kawasan. Jika peraturan ini tidak dibuat, maka upaya restorasi akan semakin susah.
g.      Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan
Salah satu bentuk kelemahan penegakan hukum dalam bidang pengawasan adalah munculnya berbagai tambak udang dan ikan di sekitar pantai Parangkusumo dan penyempitan lahan Gumuk Pasir dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini. Aktivitas masyarakat yang terus mengeksploitasi Gumuk Pasir ini tentu salah satu dampak dari kurangnya pengawasan dari pihak yang berwenang. Selama ini tidak ada kejelasan sanksi yang diberikan pada masyarakat yang menggunakan atau memakai kawasan Gumuk Pasir sebagai lahan matapencaharian.
h.      Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup
Kesadaran masyarakat tentang arti penting keberadaan Gumuk Pasir di pesisir pantai Kabupaten Bantul masih sangat rendah. Hal ini dikarenakan minimnya pemahaman masyarakat tentang manfaat dan kedudukan Gumuk Pasir sebagai salah satu warisan langka di dunia dan sekaligus sebagai Geoheritage. Dengan demikian eksploitasi terus berlangsung yang berdampak pada penyempitan lahan dan mengancam keberadaan Gumuk Pasir.
i.        Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan.
Di pantai Parangtritis sudah mulai menjajakan fasilitas berupa motor ATV (All Terain Vehicle) untuk menarik minat pengunjung. Sensasi berkendara motor jenis ini berasa berbeda karena di atas hamparan pasir yang luas. Hal ini tentunya akan membuat Gumuk Pasir menjadi lebih padat dan sifat alamiah terbentuknya permukaan Gumuk Pasir akan berkurang. Sedangkan di pantai Parangkusumo terdapat banyak tambak udang yang biasanya para nelayan menggunakan antibiotik untuk menjaga agar udang tidak banyak yang mati. Kadar antibiotik yang berlebihan dapat membunuh organisme lain dan menyebabkan keseimbanganya terganggu. Keadaan ini tentunya sangat tidak ramah lingkungan dan dapat merusak lingkungan.



B.     Aspek Kesalahan atau Kelemahan dalam Pengelolaan
Terdapat beberapa aspke kelemahan dalam pengelolaan kawasan khusus Gumuk Pasir di pesisir pantai Kabupaten Bantul berdasarkan berita tersebut. Aspek-aspek tersebut antara lain adalah:
1.      Pemanfaatan
Pemanfaatan pantai di Kabupaten Bantul sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata oleh Pemeritah DIY berakibat kurang baik terhadap keberadaan lahan Gumuk Pasir. Perkembangan dari sektor ekonomi dan pariwisata menuntut lahan yang luas dan penutupan beberapa lahan Gumuk Pasir untuk keperluan peningkatan ekonomi dan pariwisata tersebut. Banyak lahan Gumuk Pasir dijadikan area pemukiman warga agar dekat dengan lokasi berdagang. Selain itu, pemanfaatan Gumuk Pasir sebagai lahan pertanian, parkir dan tambak udang menjadikan luas area Gumuk Pasir semakin terkikis dan mengkhawatirkan. Pemanfaatan lahan menjadi tak terkendali dikarenakan tidak adanya kontrol yang berdasarkan pada asas pengelolaan lingkungan.
2.      Pengendalian
Titik berat sektor ekonomi dan pariwisata membuat daerah pesisir pantai di Kabupaten Bantul terus berkembang, terutama dari segi pembangunan. Usaha peningkatan minat pengunjung selalu sejalan dengan peningkatan berbagai fasilitas yang ada di sekitar pantai. Oleh karena itu, penggunaan lahan Gumuk Pasir menjadi tak terkendali. Terhitung selama 30 tahun terakhir lahan Gumuk Pasir berkurang sebanyak 210 Hektare. Upaya pengendalian sudah dilakukan dengan membuat peraturan daerah, namun kelemahan dari pengendalian ini adalah pada perturan turunan yang belum dibuat. Sehingga masyarakat masih dapat menggunakan celah peraturan tersebut untuk melakukan aktivitas pembangunan dan penggunaan lahan di zona inti Gumuk Pasir.
3.      Pengawasan
Sejauh ini, pemerintah belum mengirim atau menugaskan kelompok khusus untuk mengawasi aktivitas masyarakat di lahan Gumuk Pasir. Hal ini menyebabkan masyarakat yang kurang menyadari arti penting keberadaan Gumuk Pasir bebas melakukan aktivitas di atas lahan tersebut. Sejauh ini pemerintah hanya membuat peraturan dan mengadakan seminar tentang keberadaan Gumuk Pasir, namun untuk pengawasan belum ada realisasinya.
4.      Penegakan Hukum
Sejalan dengan belum adanya aparat yang mengawasi aktivitas masyarakat di lahan Gumuk Pasir, maka hukum juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Belum ada sanksi hukum maupun sanksi lingkungan terkait dengan pengelolaan lahan Gumuk Pasir menjadi berbagai lahan matapencaharian masyarakat. Padahal sanksi atau hukuman seharusnya diperlukan agar keberadaan lahan Gumuk Pasir tidak berkurang terus menerus. Peraturan yang selama ini dibuat hanya sebatas pada ketetapan luas zona serta aktivitas apa saja yang diijinkan dan yang tidak. Masyarakat yang melanggar hanya akan diperingatkan dan kemudian aktivitas tersebut ditutup. Masalah di lapangan adalah banyak aktivitas masyarakat di zona steril namun luput dari sanksi dan pengawasan.

C.    Pendekatan Instrumen yang Telah Dipakai dalam Pengelolaan Lingkungan
Pendekatan instrumen yang telah dipakai dalam pengelolaan lingkungan lahan Gumuk Pasir di kawasan pesisir pantai di Kabupaten Bantul adalah dengan pendekatan hukum atau peraturan. Instrumen tersebut tertuang di dalam peraturan daerah Kabupaten Bantul Nomor 04 Tahun 2011 Tentang Rencama Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul, BAB III (Asas, Tujuan, Kebijakan Dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten) Pasal 8, Ayat 2 butir e menyebutkan bahwa “Mencegah kegiatan budi daya di sepanjang sungai yang dapat mengganggu atau merusak kualitas dan kuantitas air serta morfologi sungai, pantai yang dapat mengganggu atau merusak kondisi alam dari pantai terutama pada kawasan gumuk pasir Parangtritis dan di sekitar mata air.” dan BAB VI (Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten), Pasal 65, Ayat 4, butir b menyebutkan “Kawasan Strategis Gumuk Pasir Parangtritis yang berfungsi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian.”(www.bappeda.bantulkab.go.id).
Hukum atau peraturan tersebut bersifat mengikat, namun dalam implementasinya yang belum sempurna sehingga peraturan tersebut masih bersifat longgar. Selain peraturan-peraturan tersebut, pemerintah telah mengadakan upaya restorasi yang dimulai dengan mengadakan seminar “Edu-Restorasi Gumuk Pasir Parangtritis Untuk Kesejahteraan Bersama” sebagai salah satu solusi menjaga eksistensi Gumuk Pasir tersebut. Melalui penyerahan Surat Keputusan (SK) 9 Kawasan Geoheritage di Daerah Istimewa Yogyakarta kepada Gubernur DIY semoga pengelolaan lahan Gumuk Pasir di pesisir pantai Kabupaten Bantul semakin terjaga.

D.    Pengelolaan yang Ideal
Sejauh ini, pemerintah pusat Daerah Istimewa Yogyakarta, pemerintah Kabupaten Bantul dan akademisi sudah mengambil beberapa langkah yang tepat dan tegas dalam mengkonservasi Gumuk Pasir. Akan tetapi ada beberapa aspek yang harus diperhatikan agar upaya pengelolaan menjadi lebih terarah dan berjalan dengan baik. Adapun aspek yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
1.      Perencanaan
a.       Perencanaan yang Matang
Perencanaan dibukanya obyek wisata baru Geomaritim Science Park merupakan salah satu cara agar keberadaan Gumuk Pasir terjaga. Namun meski demikian, perencaan tersebut jangan sampai mengesampingkan zona-zona lain atau lokasi Gumuk Pasir lain yang tidak dijadikan lokasi wisata. Perencanaan yang matang juga harus menyeluruh untuk semua kawasan khusus Gumuk Pasir. Jika perencaan tidak matang, dikhawatirkan akan mengancam kawasan Gumuk Pasir lain yang kurang diperhatikan akibat tidak termasuk dalam kawasan wisata Geomaritim Science Park.
2.      Pemanfaatan dan Pengendalian
a.       Pengelolaan Objek Wisata Baru Yang Berbasis Natural
Penetapan kawasan Gumuk Pasir sebagai Geomaritim Science Park sebaiknya dikelola senatural mungkin tanpa harus menyebabkan eksploitasi yang lebih membahayakan dan lebih mengancam keberadaan Gumuk Pasir. Pengelolaan wisata di Geomaritim Science Park sebisa mungkin tidak mengedepankan aspek ekonomi dan pariwisata tetapi menonjolkan kealamian keadaan Gumuk Pasir. Pengelolaan lokasi wisata baru ini harus terpisah dengan wisata-wisata lain yang memang diperuntukan dalam pengembangan sektor ekonomi. Adanya wisatawan yang datang sudah pasti akan menarik minat pedagang untuk berjualan dengan berbagai cara dan memanfaatkan kelemahan hukum atau peraturan. Selain itu, penyediaan area parkir dan akses menuju ke zona untuk wisata Gumuk Pasir harus didesain seefisien mungkin agar tidak mengganggu upaya konservasi, restorasi dan pengelolaan Gumuk Pasir. Oleh karena itu, pemerintah dan pengelola harus memperhatikan berbagai hal kecil yang beroptensi mengancam keberadaan Gumuk Pasir.
b.      Menekan Akitivitas Yang Berlebih
Penetapan zona Gumuk Pasir adalah zona inti, zona penyangga, zona pemanfaatan tertentu, zona perikanan berkelanjutan, zona wisata alam dan budaya, dan zona wisata kuliner. Pada setiap zona, kecuali zona inti, terdapat aktivitas yang berlangsung. Guna menanggulangi agar penyempitan lahan Gumuk Pasir tidak terus berkurang sebagaimana yang sudah terjadi selama 30 tahun terakhir, maka perlu menekan aktivitas berlebih pada setiap zona. Penekanan aktivitas ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan. Penekanan aktivitas dapat berupa peraturan tentang aktivitas apa saja yang boleh dilakukan di setiap zona dan yang tidak. Pada setiap aktivitas juga memiliki batas maksimal perizinan baik batasan waktu, luas maupun jenis aktivitas.
c.       Alokasi Anggran Yang Lebih Besar
Mengingat pentingnya keberadaan Gumuk Pasir di kawasan pesisir pantai Kabupaten Bantul, maka perlu alokasi dana yang lebih besar dalam setiap aspek pemeliharaanya. Dana tersebut untuk menunjang keberlangsungan upaya restorasi, konservasi dan pengelolaan. Dalam upaya restorasi perlu dilakukan relokasi lahan yang digunakan oleh masyarakat pada zona steril, tentunya hal ini akan banyak memerlukan biaya. Relokasi bertujuan untuk mengendalikan aktivitas di zona-zona tertentu sesuai denga tujuan restorasi, yaitu peremajaan kembali Gumuk Pasir. Setiap aspek konservasi dan pengelolaan memerlukan dana yang cukup besar mulai dari perencanaan hingga pengawasan. Sehingga pemerintah harus mengatur ulang alokasi anggaran pendanaan untuk kawasan khusus Gumuk Pasir tersebut.
3.      Pemeliharaan
a.       Mengadakan Sosialisasi Berkala
Sosialisasi mutlak dan wajib untuk dilakukan. Mengingat warga masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir pantai Kabupaten Bantul terdiri dari berbagai kalangan, maka hendaknya sosialisasi tidak hanya terbatas pada ketua ataupun pengurus desa. Sosialisasi yang dilakukan harus mewakili semua kalangan dan dilakukan secara berkala. Tujuanya adalah untuk menjaga komitmen masyarakat dan pemerintah dalam pelaksanaan restorasi, konservasi dan pengelolaan kawasan Gumuk Pasir. Sosialisasi berkala juga sebagai bukti bahwa tanggung jawab pelaksanaan restorasi, konservasi dan pengelolaan bukan hanya dibebankan kepada masyarakat, namun ada kekompakan dan sinergi antara masyarakat dan pemerintah.
4.      Pengawasan
a.       Melipatgandakan Pegawasan
Peraturan yang dibuat tanpa adanya pengawasan akan membuat peraturan tersebut menjadi lemah dan banyak masyarakat tak bertanggung jawab akan menggunakan kelemahan hukum untuk kepentingan pribadi. Maka dari itu, peraturan yang dibuat harus disertai dengan pengawasan yang memadai. Sebelum dilaksanakanya program restorasi, sebenarnya sudah ada peraturan yang mengatur keberadaan kawasan khusus Gumuk Pasir, akan tetapi dalam pelaksanaanya tidak ada pengawasan hukum dan sanksi yang jelas. Sehingga kawasan khusus Gumuk Pasir terus menyempit. Untuk mencegah agar hal itu terjadi, maka pengawasan hukum dan pengawasan lapangan perlu dilakukan.
5.      Penegakan Hukum
a.       Memperbaharui Peraturan Daerah (Perda) Dan Peraturan Kabupaten (Perbup)
Berkaca dari penyebab menyempitnya lahan Gumuk Pasir yang salah satunya karena aspek hukum yang lemah, maka perlu dilakukan pembaharuan Perda dan Perbup tentang zonasi dan aktivitas yang diperbolehkan di zona-zona Gumuk Pasir. Pencantuman perturan tersebut lebih baik disertai dengan sanksi-sanksi apabila terjadi pelanggaran, baik sanksi hukum maupun sanksi sosial. Pelaksanaan restorasi, konservasi dan pengelolaan Gumuk Pasir tidak akan sesuai dengan harapan apabila penegakan hukum masih lemah dan banyak celah.
b.      Informasi Yang Mudah Diakses
Penetapan zonasi dan peraturan masing-masing zona harus jelas. Semua orang dapat mengakses penetapan zonasi yang berisi berbagai macam peraturan di masing-masing zonasi tersebut. Hal ini penting untuk dilakukan karena tidak semua orang peduli dengan keberlangsungan restorasi, konservasi dan pengelolaan lingkungan yang sedang diupayakan oleh pemerintah.
Selama ini, peraturan aktivitas yang diperbolehkan di masing-masing zona hanya disampaikan melalui media massa dan sosialisasi yang masih sangat terbatas. Adanya penetapan dan peraturan zonasi yang jelas akan membuat setiap masyarakat yang mengetahui saling mengingatkan. Harapanya agar tiap warga masyarakat memiliki rasa kesadaran lingkungan yang tinggi dan memiliki komitmen untuk melindungi lingkungan dengan saling mengingatkan.





BAB III
KESIMPULAN

Gumuk Pasir merupakan kawasan khusus sekaligus sebagai salah satu dari 9 Geoheritage di Daerah Istimewa Yogyakarta yang wajib dijaga dan dilestarikan. Baik pemerintah maupun masyarakat wajib menjaga warisan sejarah tersebut. Pengelolaan kawasan Gumuk Pasir di daerah pesisir pantai Kabupaten Bantul harus mengedepankan aspek kelestarian lingkunga dibandingkan sektor ekonomi maupun pariwisata. Kurangnya kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan menjadikan lahan Gumuk Pasir terus berkurang. Oleh karena itu, perlu diadakan restorasi, konservasi dan pengelolaan berbasis kelestarian lingkungan. Upaya pemerintah dan masyarakat dalam menjaga eksistensi Gumuk Pasir dapat dilakukan melalui aspek-aspek pengelolaan lingkungan yang meliputi:
1.      perencanaan,
2.      pemanfaatan,
3.      pengendalian,
4.      pemeliharaan,
5.      pengawasan, dan
6.      penegakan hukum



DAFTAR PUSTAKA

Gumuk Pasir Tinggal 190 Hektare. (12 september 2015). Tribun Jogja, hlm. 5.

Heru. (2011). Sosialisasi Perda no. 4 Tahun 2011 RTRW Kab. Bantul. Dinduh tanggal 25 Oktober 2015, pukul 22:01 WIB. http://bappeda.bantulkab.go.id./berita/44-sosialisasi-perda-no-4-tahun-2011-rtrw-kab-bantul.

Humas DIY. (2014). Gubernur Menerima SK Penetapan 9 Kawasan Geoheritage di DIY dari Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM RI. Dinduh tanggal 24 Oktober 2015, pukul 05:51 WIB. http://www.jogjaprov.go.id/.

Kusumabrata, Danang. (2014). Identifikasi Pengaturan Zonasi Konservasi Gumuk Pasir  Parangtritis Berdasarkan Pertimbangan Analisa Tapak (Spasial), Persepsi Dan Aspirasi Masyarakat. Skripsi. Yogyakarta. Jurusan Pembangunan Wilayah. UGM

Linangkung, Erfanto. (2014). Gumuk Pasir di Parangkusumo Terancam Hilang (29 Oktober 2014). Dinduh tanggal 24 Oktober 2015, pukul 05:51 WIB. http://daerah.sindonews.com/read/916951/22/gumuk-pasir-di-parangkusumo-terancam-hilang-1414571828. Diunduh tanggal 25 Oktober 2015, pukul 23:27 WIB.

Torrido, Aryan. (2005). Dampak sosial, ekonomi dan budaya industri pariwisata Parangtritis. Tesis. Yogyakarta. Program Studi Sosiologi. UGM.

Widiyanto, Danar. (2014). 9 Situs Geoheritage di DIY Harus Dikonservasi. Dinduh tanggal 24 Oktober 2015, pukul 05:34 WIB. http://krjogja.com/read/235412/9-situs-geoheritage-di-diy-harus-dikonservasi.kr.


Widodo, Supriyanto. (1999). Arahan Pengembangan Pariwisata Berdasarkan Identifikasi Karakteristik Wisatawan Dan Keinginan Pengusaha Pariwisata (Studi Kasus: Kawasan Pariwisata Parangtritis Kabupaten Dati Ii Bantul). Tesis. Bandung. Jurusan Magister Perencanaan Wilayah dan Kota. ITB.

Related Post

First

2 komentar

Write komentar
10 Desember 2015 pukul 18.39 delete

wahhh..artikelnya sangat lengkap, semoga bermanfaat dan tidak disalahgunakan

Reply
avatar